#Pidana

Bagaimana UU Kekerasan Seksual Mengubah Perlindungan Hukum

Bagaimana UU Kekerasan Seksual Mengubah Perlindungan Hukum

ombudsmanindonesia.com, Jakarta – Setelah enam tahun perjuangan, Indonesia akhirnya memiliki Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). Rancangan Undang-Undang ini disahkan menjadi undang-undang pada 12 April 2022 melalui rapat paripurna DPR RI. UU ini menjadi tonggak penting dalam upaya negara untuk menghadirkan keadilan bagi korban kekerasan seksual yang selama ini kerap diabaikan.

Artikel ini akan membahas poin-poin utama dalam UU TPKS yang menjadi dasar perlindungan hukum, pemulihan korban, serta pemberian sanksi kepada pelaku. Dengan pendekatan berbasis data dan regulasi yang komprehensif, UU TPKS mengatur sejumlah aspek yang selama ini menjadi celah hukum dalam penanganan tindak pidana kekerasan seksual di Indonesia.

Substansi Utama UU TPKS

UU TPKS dirancang untuk memberikan perlindungan menyeluruh bagi korban kekerasan seksual. Hal ini tertuang dalam Pasal 3 yang menjelaskan tujuan utama undang-undang ini, yaitu:

  • Pencegahan Kekerasan Seksual: Negara berkomitmen menciptakan lingkungan bebas kekerasan seksual melalui regulasi dan edukasi masyarakat.
  • Penanganan dan Pemulihan Korban: Undang-undang menjamin pemulihan fisik, psikologis, dan sosial bagi korban.
  • Pencegahan Kekerasan Seksual Berulang: Memberikan efek jera kepada pelaku dengan hukuman berat serta pengawasan ketat terhadap pelaku setelah menjalani hukuman.

9 Bentuk Tindak Pidana Kekerasan Seksual

UU TPKS mengatur sembilan jenis kekerasan seksual yang dijadikan landasan hukum untuk menindak pelaku:

  1. Pelecehan seksual non-fisik.
  2. Pelecehan seksual fisik.
  3. Pemaksaan kontrasepsi.
  4. Pemaksaan sterilisasi.
  5. Pemaksaan perkawinan.
  6. Kekerasan seksual berbasis elektronik.
  7. Penyiksaan seksual.
  8. Eksploitasi seksual.
  9. Perbudakan seksual.

Setiap kategori ini memiliki definisi yang jelas dan sanksi hukum yang tegas untuk memastikan perlindungan maksimal bagi korban.

Kemudahan Pelaporan bagi Korban dan Saksi

Salah satu langkah revolusioner dalam UU TPKS adalah kemudahan pelaporan yang diatur dalam Pasal 20. Saksi atau korban dapat melaporkan tindak pidana hanya dengan satu alat bukti dan keterangan saksi. Selain itu, laporan yang diajukan harus segera ditindaklanjuti dalam waktu 1×24 jam oleh aparat kepolisian.

Baca Juga:  Polisi Bongkar Hotel Aruss Dibangun dari Uang Judi Online

UU ini juga mengatur bahwa informasi elektronik dapat dijadikan alat bukti, sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan. Hal ini memberikan keadilan bagi korban, terutama dalam kasus kekerasan seksual berbasis elektronik seperti revenge porn.

Hukuman Bagi Pelaku Kekerasan Seksual

UU TPKS menetapkan hukuman berat bagi pelaku tindak pidana kekerasan seksual. Berikut adalah beberapa ketentuan sanksi yang diatur:

1. Hukuman Bagi Pelaku Individu

Pelaku individu dapat dikenai hukuman berupa:

  • Pidana penjara hingga 9 tahun untuk pelaku pemaksaan perkawinan (Pasal 10).
  • Pidana penjara dan denda untuk kekerasan seksual berbasis elektronik, dengan ancaman hingga Rp 10 juta (Pasal 4 ayat 1).
2. Hukuman untuk Korporasi

Korporasi yang terlibat dalam tindak pidana kekerasan seksual dapat dikenai denda hingga Rp 2 miliar. Selain itu, sanksi tambahan berupa:

  • Pembayaran restitusi.
  • Pencabutan izin usaha.
  • Pembubaran korporasi.
3. Pidana Tambahan

Dalam Pasal 11, pelaku dapat dijatuhi pidana tambahan seperti:

  • Pencabutan hak asuh anak.
  • Pengumuman identitas pelaku ke publik.
  • Perampasan keuntungan hasil tindak pidana.

Perlindungan dan Hak Restitusi Korban

UU TPKS memberikan perhatian besar terhadap hak korban melalui aturan mengenai restitusi dan pendampingan hukum. Dalam Pasal 24, korban berhak atas:

  • Ganti kerugian materiil dan immateriil.
  • Biaya perawatan medis dan psikologis.
  • Restitusi atas kehilangan penghasilan akibat tindak pidana.

Selain itu, korban dan saksi berhak mendapatkan pendampingan hukum dan perlindungan selama proses hukum berlangsung, sebagaimana diatur dalam Pasal 27-29.

Larangan Restorative Justice

UU TPKS secara tegas melarang penggunaan pendekatan restorative justice dalam penyelesaian kasus kekerasan seksual. Hal ini dilakukan untuk memastikan bahwa kepentingan korban tidak diabaikan demi mencapai perdamaian antara pihak-pihak yang terlibat.

Pendekatan ini dikecualikan agar korban tidak terpaksa berdamai dengan pelaku, yang sering kali menjadi praktik tidak adil di masa lalu.

Baca Juga:  Polri Kembalikan Uang Pemerasan Rp 2,5 Miliar, IPW Soroti Seriusitas Penegakan Hukum

Kesimpulan

UU TPKS adalah langkah besar dalam penanganan tindak pidana kekerasan seksual di Indonesia. Dengan aturan yang komprehensif, perlindungan yang kuat, serta sanksi yang tegas, undang-undang ini menghadirkan harapan baru bagi korban kekerasan seksual. Tidak hanya melindungi hak korban, UU ini juga memastikan bahwa pelaku menerima hukuman yang setimpal dan mencegah kekerasan seksual berulang.

Masyarakat kini memiliki landasan hukum yang jelas untuk melawan kekerasan seksual. Namun, keberhasilan implementasi UU TPKS membutuhkan peran aktif semua pihak, mulai dari aparat penegak hukum hingga masyarakat umum, untuk menciptakan lingkungan yang benar-benar aman dan bebas dari kekerasan seksual.

Dengan memahami poin-poin utama dalam UU TPKS, kita dapat bersama-sama membangun masa depan yang lebih adil dan bermartabat bagi semua warga negara. Mari wujudkan Indonesia bebas kekerasan seksual!

Leave a comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *